Oleh: M. Chairul Basrun Umanailo. M.Si
Memahami keberadaan Pulau Buru, tidak sekedar hanya dengan menyebutkan adanya dua Kabupaten, yakni Kabupaten Buru dan Buru Selatan. Namun lebih dari itu identifikasi tentang budaya masyarakat terkhusus di Kabupaten Buru menjadi sebuah point penting dalam penjabaran representasi lokal dan kaitannya dengan politik identitas.
Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya merupakan bukti legitimasi masyarakat terhadap budaya. Eksistensi budaya dan keragaman nilai-nilai luhur kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat dalam budaya Buru merupakan sarana dalam membangun karakter warga negara, baik yang berhubungan dengan karakter privat maupun karakter publik.
Sementara itu, politik identitas merupakan konsepsi atas keseluruhan proses formasi dan pembentukan identitas masyarakat lokal. Dalam budaya atau praktik kehidupan sehari-hari ini, peran dan fungsi kesadaran, wacana, habitus, dan praksis menentukan setiap langkah dalam formasi identitas. Politik identitas sangat jelas direpresentasikan dengan keterlibatan elit-elit masyarakat, dengan adanya kekuatan dan peran organisasi dan lembaga, pengaruh fungsi ideologi dan wacana, hingga kekuatan fungsi simbol dan atribut budaya sebagai elemen intrinsik sekaligus penguat geneologi identitas.
Langkah selanjutnya mengartikan apa yang kemudian kita sebut dengan budaya buru?, tentu kita akan kembali pada penafsiran di atas bahwa segala sesuatu yang menjadi tata nilai, tata perilaku, tata pikir orang buru bisa urai dalam beberapa objek yakni sistem religi, kekerabatan, kesenian serta sistem mata pencaharian.
Dalam sistem religi; orang buru masih kental dengan Animisme dimana kepercayaan bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia dihuni oleh berbagai macam roh, dan terdiri dari berbagai kegiatan keagamaan untuk memuja roh-roh tadi. Roh-roh tersebut mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahannya, yang dilakukan dengan berbagai upacara, doa, sajian, korban, dan lain sebagainya. Untuk pola kekerabatan, berorientasi pada pola perkawinan patrilineal yang disertai dengan pola menetap patrilokal dan juga bisa kita dapatkan pola-pola perkawinan seperti Maso Minta, Kawin Marwang, Kawin Panjar dan kawin lari.
Untuk kesenian, Orang Buru mengenal tarian adat Cakalele yang diperuntukan buat kegiatan seremonial dan sakral seperti upacara perkawinan, pelantikan tua adat atau penyambutan tamu-tamu penting. Sementara untuk sistem mata pencaharian, umumnya
bermata pencaharian bertani, nelayan, berburu dan kemudian kita bisa mengenal Dudeso maupun Slihit.
Kesemuanya adalah konstruksi dari budaya lokal yang terbangun dari sitem pengetahuan masyarakat lokal, mestinya bisa menjadi representatif pemerintah dan masyarakat dalam sebuah tafsir sosial atas realitas masyarakat di Kabupaten Buru. Namun tidak demikian, kondisi saat ini tidak sepenuhnya menjanjikan dengan masuknya berbagai pengaruh teknologi dan sistem pendidikan sehingga diperlukan sebuah perlakuan politik identitas guna keberlangsungan budaya lokal dimaksud.
Ada beberapa tipologi politik identitas yang bisa kita pahami yaitu agen-individu, agen kelompok, struktur-individu, struktur-kelompok, dan agen-struktur-komunikatif. Mencermati kelima tipologi tersebut, maka jelas bahwa aktor tidak dapat didikotomikan antar individu disatu sisi, dan kelompok pada sisi lain dalam pembentukan identitas. Melainkan, individu dan kelompok adalah aktor yang tindakannya tidak hanya ditentukan struktur dimana aktor tersebut berada. Sebaliknya, aktor dengan leluasa mampu mengkonstruksi identitas yang ada dalam dirinya. Meski demikian, pengalaman dan kesejarahan, serta latar belakang kehidupan sosial tak dapat dikesampingkan karena memberikan pengaruh terhadap tindakan aktor bernuansa identitas.
Implikasi pragmatis dari tipologi di atas yakni dengan membuka dua ruang yaitu dengan ruang aktuliasasi dan ruang apresiasi. Ruang aktualisasi, akan membuka kesempatan bagi implementasi budaya lokal oleh orang-orang Buru, dalam hal ini budaya orang buru kedalam struktur sosial. Sementara untuk ruang apresiasi, dengan adanya pengakuan secara de jure oleh Pemerintah Daerah terhadap tata nilai maupun tata perilaku serta tata pikir dalam kehidupan bermasyarakat maka jaminan serta perlindungan itu dirasakan secara langsung.
Akhir dari semua ini adalah lahirnya sebuah signifikansi budaya lokal terhadap kehidupan bermasyarakat dalam pembentukan identitas etnik. Ruang dimana terbentuknya relasi dialektikal antara aktor dengan kelompok etnik sehingga membentuk identitas bersama dan melekat dalam diri aktor yang dilandasi atas kesejarahan kelompok etnik (posisi aktor) dan pengalaman (disposisi) dari aktor sendiri.
Adapun struktur pembentukan budaya lokal menjadi identitas mengarahkan tindakan aktor dalam praktik-praktik yang terjadi di arena ekonomi politik lokal. Ini dapat dilihat dari praktik politik lokal (pilkada) dan ekonomi identitas. Adapun praktik-praktik tersebut dipengaruhi prinsip hierarki sehingga membentuk mobilisasi budaya lokal yang bersifat positif. Kecenderungan memudarnya identitas budaya lokal di arena ekonomi politik merupakan kegagalan me(re)produksi budaya lokal itu sendiri. Semoga dengan tulisan ini mampu mencerahkan dan membuka ruang-ruang ekpresi untuk eksistensi budaya lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar