Jumat, 13 April 2018

PILKADA BURU DALAM SIMULACRA POLITIK LOKAL

Oleh: M. Chairul Basrun Umanailo, M.Si
Hiruk pikuk politik 2017 sebagai gambaran realitas politik di Kabupaten Buru, memiliki karakteristik yang luar biasa dengan segala bentuk manuver dan intrik, sekiranya menarik untuk kita bahas dengan memahami subtansi “dari yang diciptakan”. Pertarungan dan perebutan kekuasaan merupakan konsekuensi logis ketika instrument pemilihan dipakai untuk mencari seorang pemimpin.
 Fenomena Pemilihan Kepala Daerah pada Februari 2017, telah menjadi sebuah euphoria politik dalam masyarakat dengan konsekuensi dari keterbukaan teknologi informasi dan komunikasi maka masyarakat di Kabupaten Buru menjadikan momentum tersebut sebagai ruang partisipasi yang tentunya bisa bersifat positif dan juga negative. Masyarakat Kabupaten Buru sebagai konstruksi masyarakat dinamis, dimana terus berupaya serta berbenah untuk menjadi kota yang nyaman dan aman untuk dihuni menyebabkan pilkada 2017 sebagai ajang partisipatif guna memilih dan memilah kepimpinan daerah untuk lima tahun kedepan..
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka serta menciptakan suatu budaya produktif dalam organisasi. Adapun dari sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan kekerasan maupun pemaksaan.
Menariknya, ketika berbicara kepemimpinan maka banyak realitas yang kemudian dapat kita jadikan rujukan dalam memahami kepemimpinan itu sendiri, semisalnya kepemimpinan di daerah. Bupati sebagai eksekutif memposisikan sebagai pemegang kepemimpinan tertinggi secara politik dan administrative dari suatu daerah, maka terlepas dari semua ini unsur kepemimpinan akan menjadi sangat penting untuk dikaji menjadi suatu kajian ilmiah.
Ramly Umasugi, S.Pi. MM. adalah Bupati yang sementara ini memimpin di Kabupaten Buru lewat proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan 2 tahun yang lalu hingga saat ini masih memimpin daerah yang dimana beliau merintis karier politiknya. Satu hal yang bisa kita perbincangkan adalah karakteristik dari kepemimpinan beliau selama menjabat sebagai pemimpin yang dimulai dari Dewan Perwakilan Rakyat, menjadi Wakil Bupati hingga pada akhirnya berhasil memimpin daerah ini.
Mengaitkan politik local dengan simulacra tentunya tidak terlepas dari apa yang disampaikan oleh Baudrillard, Media Kontemporer termasuk televisi, film, cetak, dan Internet, yang bertanggung jawab untuk mengaburkan garis antara produk yang diperlukan (untuk hidup) dan produk yang perlu diciptakan oleh komersial gambar. Selanjutnya, Bahasa dan ideologi, di mana bahasa semakin menjadi terjebak dalam produksi hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok social
Semakin mendekatnya kita pada sebuah momentum politik maka yang diuraikan oleh Baudrillard akan semakin menjadi kenyataan. Hal ini bisa kita temukan dengan munculnya konflik maupun perbedaan pandangan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam media-media social. Saling menjatuhkan, saling menghujat bahkan pada titik nadir yang sekiranya membutuhkan sebuah kejelasan yakni mengklaim. Jadi apa yang yang diperlukan tentunya berbeda dengan apa yang diciptakan. Dalam hal ini tentunya seseorang untuk mau merebut simpati konstituen harus mampu menciptakan kepercayaan atas apa yang diproduksinya (Isu, Wacana, Gosip, bahkan sejarah).
Perlu diingat bahwa simulacra dan simulasi memiliki empat tahap yang mana; kita percaya bahwa tanda adalah refleksi dari realitas yang mendalam, penyimpangan dari kenyataan, selanjutnya tidak adanya realitas yang mendalam, di mana simulacrum yang berpura-pura menjadi salinan setia, tapi itu adalah salinan tanpa aslinya, dan yang terakhir adalah di mana simulacrum tidak memiliki hubungan dengan realitas apapun.
Konten inilah yang sementara menjalar pada masyarakat di Kabupaten Buru, sehingga terasa sekali hajatan politik local menjadi sesuatu yang cukup meresahkan dalam hal pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Semestinya dalam situasi seperti ini, masyarakat harus menjadi lebih cerdas dan selektif dalam berproses politik terlebih ketika menerima ataupun melanjutkan suatu informasi pada rangkaian yang lebih luas. Pragmatism menjadi factor pendorong untuk lahirnya simulacra dalam politik local namun kemudian apabila masyarakat memahami konteks yang sebenarnya maka proses politik local akan terlihat lebih elegan.
Harapan untuk masyarakat menjadi partisipan yang cerdas tentunya menjadi harapan kita semua, terlebih para calon-calon pemimpin daerah dan semua itu dimulai dari diri masing-masing sehingga keharmonisan di dalam masyarakat Kabupaten Buru tetap terjaga meskipun pilihan itu berbeda-beda. “Lahirkan seorang pemimpin bukanlah sesuatu yang sulit, namun menjadikan masyarakat yang cerdas politik adalah sesuatu yang sulit bila kemudian keasadaran berpolitik hanya untuk menjadi seorang pemimpin”. Semoga masyarakat di Kabupaten Buru mampu menjadi masyarakat yang cerdas dalam berpolitik, semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel yang sering dibaca