Jumat, 13 April 2018

PRAKTIK BUDAYA DALAM TATA RUANG KOTA NAMLEA

Oleh: M. Chairul Basrun Umanailo, M.Si
Semenjak terwujud dalam ruang otonom pembangunan, Namlea yang sebelumnya masih berupa ibukota kecamatan berangsur-angsur menjadi sebuah kota kecil dengan implikasi perkotaan yang terus mengalami dinamika. Bergesernya Kecamatan Namlea dari wilayah penyokong Ibukota Kabupaten Maluku Tengah menjadi Ibukota Kabupaten Buru, semua itu tidak terlepas dari gaung otonomi daerah yang mampu mewujudkan eksistensi Kota Namlea hingga saat ini.
Menyikapi pembangunan ruang-ruang dalam perwujudan sebuah kota tentunya akan ikut berubah secara sistematis sebagai akibat status yang melekat sebagai wilayah penting dalam struktur pemerintahan daerah. Kondisi Kota Namlea sebelum menjadi ibukota kabupaten, secara faktual dapat dikalkulasi sebagai daerah penyokong yang bukan pada Kabupaten Induk melainkan pada kota Ambon sebagai konsekuensi orbitrasi geografi. Kondisi inilah yang mempermudah mobilitas masyarakat Kota Namlea dalam urusan ekonomi, sosial dan pendidikan, sehingga sampai saat inipun pengaruh orbitrasi tersebut masih terus dirasakan.
Pertanyaan selanjutnya yaitu bagaimana kita mendiskripsikan ruang kota Namlea sebagai suatu identifikasi praktik budaya yang memiliki kaitan kuat terhadap perencanaan hingga pelaksanaan dan mampu menjadi representatif dalam tata ruang Kota Namlea yang seutuhnya, yang memiliki lokalitas yang nyata dan keterhubungan dengan budaya lokal.
Memahami praktik budaya, kita bisa meminjam apa yang diasumsikan oleh Pierre Bordieu mengenai Praktik sebagai 􀂵􀀷􀁌􀁑􀁇􀁄􀁎􀁄􀁑􀂵􀀃􀀋􀁓􀁕􀁄􀁆􀁗􀁌􀁆􀁈􀀌􀀃􀁄􀁗􀁄􀁘􀀃􀁄􀁓􀁄􀀃􀁜􀁄􀁊􀀃􀁖􀁈􀁆􀁄􀁕􀁄􀀃􀁄􀁎􀁗􀁘􀁄􀁏􀀃dilakukan seseorang, merupakan bentukan dari (dan sekaligus respons terhadap) aturan-aturan dan konvensi-konvensi budaya. Ia mengandaikan korelasi secara dialektis hubungan kebudayaan (peta) dengan tindakan tentang perjalanan. Praktik adalah produk dari relasi antara habitus dengan ranah, yang keduanya merupakan produk sejarah. Maka apabila kita kaitkan dengan tata ruang yang ada di Kota Namlea terdapat sinkronisasi dengan dua hal yaitu Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang berada dalam ruang sosial. Selanjutnya ranah atau juga kebiasaan dimana merupakan metafora yang menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya.
Habitus masyarakat di Kota Namlea harusnya memiliki nilai lokalitas yang tinggi sebagai akibat kuatnya integrasi yang terbangun dari konsepsi kultural yang kuat, kepercayaan tentang tempat-tempat pamali ataupun sakral mestinya menjadi rujukan
publik mengingat korelasi masyarakat dengan bawaan tradisi yang masih relevan. Selain itu, bentukan dan implementasi bentuk ruang harus berkorelasi dengan identitas adat dan tradisi setempat dalam bentukan implementasi tata ruang. Kita bisa mencontohkan bagaimana bentukan bangunan untuk seorang pemimpin daerah, dalam konteks pembangunannya harus menonjolkan identitas lokalitas sebagai praktik budaya yang semestinya.
Bertolak dari beberapa penjelasan dan literatur, orang- Buru dalam menjalankan kepercayaan terhadap leluhur membagi ruang di wilayahnya atas tiga bagian yaitu: Pertama adalah kawasan yang dilindungi karena nilai kekeramatannya; Kedua adalah kawasan yang diusahakan; Ketiga adalah kawasan yang tidak diusahakan. Pembagian wilayah ini sangat erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional dan kosmologi orang-orang Buru, yaitu asal usul mereka yang berhubungan dengan alam semesta seperti tanah, air, dan gunung. Maka demikian Kota Namlea kemudian bisa mengadopsi dan mengelaborasi konteks budaya tersebut ke dalam sebuah perencanaan tata ruang perkotaan.
Sekedar untuk bahan komparatif dari Kota Solo dan beberapa Kabupaten Di Jawa Tengah, bisa kita temukan bentuk ruang-ruang publik seperti Balai Kota, Mesjid bahkan rumah Walikota, dimana konstruksi asitekturnya merupakan perwujudan budaya lokal, identifikasinya sangat kuat dan ini dapat memperkuat daya tahan budaya lokal terhadap modernisasi.
Muncul pertanyaan besar bagi Pemerintah Kabupaten Buru yang mana Branding Danau Rana belum sepenuhnya terekplorasi dalam sebuah perencanaan tata ruang kota, Danau Rana bukan saja penting dalam pandangan orang-orang pribumi, tetapi simbol-simbol yang melekat pada tradisi dapat menjadi sebuah referensi bagi perencana. Seperti simbolisasi Danau Rana yang dalam kedudukan sebagai perut atau pusat, yang adalah bagian penting dalam proses pembuahan, kehamilan, dan kelahiran manusia, merupakan konsep asli dari wawasan berpikir yang memandang Pulau Buru sebagai manusia.
Selanjutnya tentang ranah yang semakin sulit teridentifikasi akibat masuknya budaya global sehingga ruang-ruang dalam kota yang tercipta lebih merupakan perwujudan perkembangan teknologi dan industri. Bentukan dari ruang-ruang mestinya menonjolkan identitas masyarakat setempat ataupun akulturasi dengan budaya lokal, seperti bentukan atap maupun bentuk bangunan.
Kota Namlea Sebagai bentukan masyarakat dengan kekuatan kultur yang masih kuat, harapan untuk mempertahankan budaya lokal masih bisa terwujud lewat perencanaan tata ruang kota yang lebih representatif. Praktik budaya mestinya menjadi indikator dalam perencanaan tata ruang yang nantinya tidak begitu saja meninggalkan sumber-sumber budaya yang bisa dipakai sebagai praktik pembangunan. Merujuk rumusan sosiologis dalam sebuah perencanaan tata ruang kota bisa diasumsikan sebagai Habitus + Ranah = Praktik, dan pada akhirnya kita semua terus menanti terwujud praktik perencanaan dan implementasi pembangunan yang berbasis budaya lokal, semoga terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel yang sering dibaca