Jumat, 13 April 2018

MELAHIRKAN PEMILIH IDEOLOGIS PADA PILKADA BURU 2017

Oleh: M. Chairul Basrun Umanailo, M.Si
Konstelasi politik local selalu menjadi perbincangan hangat ketika diametrical waktu pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang semakin dekat, masyarakat beramai-ramai mewacanakan bahkan mengkonstruksi figur yang sekiranya dianggap layak untuk menduduki tempat nomor satu di daerah tersebut. Tidak ketinggalan Kabupaten Buru yang juga masuk dalam agenda besar pelaksanaan Pilkada Serentak kedua, terasa sekali atmosfir politiknya ketika diperbincangkan tentang siapa yang akan mencalonkan ataupun persoalan dukungan yang datang dari sekitaran calon soal besaran dan persentase kemenangan yang akan didapat pada hajatan tersebut.
Bicara Pilkada maka sudah dipastikan akan lahir kalimat Pemilih, Pemilih menjadi begitu penting akibat hak eksekusi yang dimilikinya menjadi rebutan mereka yang berusaha mencalonkan diri. Menelisik kata pemilih itu sendiri memiliki arti orang yang memilih (Kata Benda), orang yang terlampau teliti dalam memilih (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Bila dikaitkan dengan kata pemilih ideologis maka sekiranya bisa memiliki arti sebagai pemilih cerdas yang menyandarkan pilihan politik berdasarkan pada suatu pandangan hidup tertentu yang memiliki kebenaran mutlak atau dikenal dengan istilah ideologi. Berpikir secara ideologis meniscayakan pelakunya akan berpikir secara sistemik dan sampai kepada hakikat persoalan.
Persoalan pemilih menjadi begitu sexy ketika klaim mengklaim basis pemilih menjadi syarat dan instrument kemenangan dalam sebuah hajatan Pilkada, maka kemudian kondisi pemilih di Kabupaten Buru menjadi objek dalam berbagai kesempatan untuk diklaim sebagai pendukung. Persoalannya saat ini hampir seluruh calon mulai mengklaim dan melakukan pembenaran atas apa yang mereka anggap sebagai basis dukungan mereka. Bagi saya ini sebuah kerentanan dan pada akhirnya akan mengganggu ketahanan social yang sudah beberapa waktu terakhir ini semakin membaik di Kabupaten Buru. 
Memahami apa yang ditulis oleh Firmanzah dalam Marketing Politik 2012, prinsipnya dalam diri masing-masing pemilih terdapat dua orientasi sekaligus yaitu; (1) orientasi ‘policy-problemsolving’, dan (2) orientasi ‘ideologi’. Ketika pemilih menilai seorang kontestan dari kacamata ‘policy-problem solving’, yang terpenting bagi mereka adalah sejauh mana para kontestan mampu menawarkan program kerja atas solusi bagi suatu permasalahan yang ada. Pemilih akan cenderung sacara objektif memilih kontestan yang memiliki kepekaan terhadap masalah nasional dan kejelasan program kerja. Sementara pemilih yang lebih mementingkan ikatan ‘ideology’ suatu partai atau kontestan, akan lebih menekankan aspek-aspek subjektifitas seperti kedekatan nilai, budaya, agama, moralitas, norma, emosi dan psikografis. Semakin dekat kesamaan calon kontestan, pemilih jenis ini akan cenderung memberikan suaranya ke kontestan tersebut.
Maka dengan demikian dipertanyakan kembali keberadaan pemilih yang lebih mementingkan ikatan ideology, apakah keberadaan mereka benar-benar ada di Kabupaten Buru atau memang tergantikan dengan pemilih skeptic, Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideology cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan. Dalam aspek tertentu, pemilih jenis ini lebih menonjolkan sikap pragmatisme, misalnya karena politik uang. Politik uang sebagai bentuk pragmatisme politik tidak selalu dalam arti pemberian sejumlah uang kepada pemilih.
Lemahnya identifikasi pemilih menyebabkan dukungan hanya sekedar eforia semata, sehingga kalkulasi yang terjadi bukanlah angka akumulasi pemilih namun sekedar simpatisan, dan inilah keretanan politik bagi seorang calon sebab simpatisan bukanlah kontur permanen dari sebuah dukungan dan sangat mudah berubah sebagaimana yang terjadi pada pemilih skeptik.  
Tawaran yang ada hanyalah bagaimana kemudian para kandidat melahirkan pemilih-pemilih ideologisnya di Kabupaten buru, bukan sekedar klaim mengklaim yang pada akhirnya meruntuhkan keharmonisan social yang telah ada selama ini.
Pilkada harus jujur, sekaligus demokratis namun lebih penting lagi bahwa pilkada di Kabupaten Buru harus menjadi Pilkada cerdas sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin yang cerdas, semoga bisa terwujud, amin

PILKADA BURU DALAM SIMULACRA POLITIK LOKAL

Oleh: M. Chairul Basrun Umanailo, M.Si
Hiruk pikuk politik 2017 sebagai gambaran realitas politik di Kabupaten Buru, memiliki karakteristik yang luar biasa dengan segala bentuk manuver dan intrik, sekiranya menarik untuk kita bahas dengan memahami subtansi “dari yang diciptakan”. Pertarungan dan perebutan kekuasaan merupakan konsekuensi logis ketika instrument pemilihan dipakai untuk mencari seorang pemimpin.
 Fenomena Pemilihan Kepala Daerah pada Februari 2017, telah menjadi sebuah euphoria politik dalam masyarakat dengan konsekuensi dari keterbukaan teknologi informasi dan komunikasi maka masyarakat di Kabupaten Buru menjadikan momentum tersebut sebagai ruang partisipasi yang tentunya bisa bersifat positif dan juga negative. Masyarakat Kabupaten Buru sebagai konstruksi masyarakat dinamis, dimana terus berupaya serta berbenah untuk menjadi kota yang nyaman dan aman untuk dihuni menyebabkan pilkada 2017 sebagai ajang partisipatif guna memilih dan memilah kepimpinan daerah untuk lima tahun kedepan..
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka serta menciptakan suatu budaya produktif dalam organisasi. Adapun dari sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa menggunakan kekerasan maupun pemaksaan.
Menariknya, ketika berbicara kepemimpinan maka banyak realitas yang kemudian dapat kita jadikan rujukan dalam memahami kepemimpinan itu sendiri, semisalnya kepemimpinan di daerah. Bupati sebagai eksekutif memposisikan sebagai pemegang kepemimpinan tertinggi secara politik dan administrative dari suatu daerah, maka terlepas dari semua ini unsur kepemimpinan akan menjadi sangat penting untuk dikaji menjadi suatu kajian ilmiah.
Ramly Umasugi, S.Pi. MM. adalah Bupati yang sementara ini memimpin di Kabupaten Buru lewat proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan 2 tahun yang lalu hingga saat ini masih memimpin daerah yang dimana beliau merintis karier politiknya. Satu hal yang bisa kita perbincangkan adalah karakteristik dari kepemimpinan beliau selama menjabat sebagai pemimpin yang dimulai dari Dewan Perwakilan Rakyat, menjadi Wakil Bupati hingga pada akhirnya berhasil memimpin daerah ini.
Mengaitkan politik local dengan simulacra tentunya tidak terlepas dari apa yang disampaikan oleh Baudrillard, Media Kontemporer termasuk televisi, film, cetak, dan Internet, yang bertanggung jawab untuk mengaburkan garis antara produk yang diperlukan (untuk hidup) dan produk yang perlu diciptakan oleh komersial gambar. Selanjutnya, Bahasa dan ideologi, di mana bahasa semakin menjadi terjebak dalam produksi hubungan kekuasaan antara kelompok-kelompok social
Semakin mendekatnya kita pada sebuah momentum politik maka yang diuraikan oleh Baudrillard akan semakin menjadi kenyataan. Hal ini bisa kita temukan dengan munculnya konflik maupun perbedaan pandangan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam media-media social. Saling menjatuhkan, saling menghujat bahkan pada titik nadir yang sekiranya membutuhkan sebuah kejelasan yakni mengklaim. Jadi apa yang yang diperlukan tentunya berbeda dengan apa yang diciptakan. Dalam hal ini tentunya seseorang untuk mau merebut simpati konstituen harus mampu menciptakan kepercayaan atas apa yang diproduksinya (Isu, Wacana, Gosip, bahkan sejarah).
Perlu diingat bahwa simulacra dan simulasi memiliki empat tahap yang mana; kita percaya bahwa tanda adalah refleksi dari realitas yang mendalam, penyimpangan dari kenyataan, selanjutnya tidak adanya realitas yang mendalam, di mana simulacrum yang berpura-pura menjadi salinan setia, tapi itu adalah salinan tanpa aslinya, dan yang terakhir adalah di mana simulacrum tidak memiliki hubungan dengan realitas apapun.
Konten inilah yang sementara menjalar pada masyarakat di Kabupaten Buru, sehingga terasa sekali hajatan politik local menjadi sesuatu yang cukup meresahkan dalam hal pemicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Semestinya dalam situasi seperti ini, masyarakat harus menjadi lebih cerdas dan selektif dalam berproses politik terlebih ketika menerima ataupun melanjutkan suatu informasi pada rangkaian yang lebih luas. Pragmatism menjadi factor pendorong untuk lahirnya simulacra dalam politik local namun kemudian apabila masyarakat memahami konteks yang sebenarnya maka proses politik local akan terlihat lebih elegan.
Harapan untuk masyarakat menjadi partisipan yang cerdas tentunya menjadi harapan kita semua, terlebih para calon-calon pemimpin daerah dan semua itu dimulai dari diri masing-masing sehingga keharmonisan di dalam masyarakat Kabupaten Buru tetap terjaga meskipun pilihan itu berbeda-beda. “Lahirkan seorang pemimpin bukanlah sesuatu yang sulit, namun menjadikan masyarakat yang cerdas politik adalah sesuatu yang sulit bila kemudian keasadaran berpolitik hanya untuk menjadi seorang pemimpin”. Semoga masyarakat di Kabupaten Buru mampu menjadi masyarakat yang cerdas dalam berpolitik, semoga. 

Artikel yang sering dibaca